+ Apa yang
membuatmu begitu terpana sekaligus terpukul ketika langit mulai suram, dan
menampilkan kabut hitam diatas sana?
-
Hujan
+ Bukankah kau (selalu)
berkata ia adalah Rahmat? Kau terpana lantas kemudian terpukul? Hujan membuatmu
merasakan hal demikian? Tak bersyukur!
-
Memang, aku tak
pandai bersyukur dan selalu kufur.
+ Tetap saja
seperti itu, simpan semua sendiri!
-
Iya, aku akan
tetap seperti ini. Menyimpannya sendiri
+
Hei, kita selalu
bersama tak ingin kau membagi pedihmu agar terangkat bebanmu? Bukankah kita sejiwa?
Kau sama sekali tak romantis!
-
Benar, kau
selalu benar. Tak ada kepedihan, hanya aku tak ingin membagi memory manis ini
+ Memory manis,
namun kau selalu diringi kesedihan setelahnya bukan? Tak bisa kau simpan
semuanya sendiri, karena aku adalah dirimu.
-
Ahh, kau selalu
ingin tahu. Selalu bersikap peduli. Sudahlah, biarkan tetap seperti ini.
+
Pernahkah aku
merahasiakan sesuatu darimu?
-
Tidak, tepatnya
aku tidak begitu yakin. Haha, aku bercanda. Kau selalu seperti ini. Baiklah,
kan ku bagi kenangan manis itu.
Hujan, ia selalu menyejukkan. Butirannya
yang halus selalu dinantikan bagi mereka yang bersyukur. Kau tau kenapa? Karena
ia adalah Rahmat. Kendati demikian, ia selalu dipersalahkan. Kadang dianggap
membawa petaka dan bencana, yang sejatinya disebabkan ulah mereka yang kufur. Baiklah,
kau tak ingin aku berbasa-basi bukan? Langsung saja. Belasan tahun silam, seorang
gadis kecil (yang) ketika awan mulai menggumpal kehitaman menandakan hujan akan
turun ia (selalu) berlari memasuki kamarnya. Kau bisa menebak apa yang ia
lakukan dikamar.
+ Menangis?
-
Bukan, tepatnya
ketakutan.
Ia
selalu takut ketika hujan menyapa. Entah apa yang ia takutkan dari Sang hujan.
+
Lalu?
Berjam-jam
tanah rumahnya kian tampak basah bahkan air mulai menggenang, karena memang saat
itu tengah musim penghujan. Ia terus berdiam diri didalam rumah, melihat dari
balik jendela kamarnya. Kadang, sesekali mengintip dari balik tirai ruangan
depan. Melihat apakah langit masih menangis. Namun, mengintip dari balik tirai
sering kali ia lakukan, seperti sedang menanti seseorang.
+
Aku masih tidak
paham, alasan ketakutannya?
-
Sabar, kan ku
ceritakan secara bertahap!
Disaat ia tengah mengintip dari balik tirai,
dari arah kejauhan terlihat bayangan hitam yang mendekat. Ia semakin mendekat, terus
mendekat, dan menaiki teras rumahnya. Bayangan tersebut tampak gemetaran, lalu
5 menit kemudian ia membuka gagang pintu rumah tersebut.
+ Ia orang asing
bukan?
-
Dengarkan saja!
Pintupun terbuka, terlihat wajah kepucatan dibaluti
senyum manis dari wajahnya dengan rambut yang berantakan. Ia mencari anak manis
yang tengah mengintipnya dari balik tirai. Ia mendekati gadis kecil itu,
dekat, semakin mendekat. Ia mengamatinya sesaat, kemudian berlalu kearah
berlawanan dari arah pintu yang ia masuki tadi.
+
Lalu gadis kecil
itu?
-
Hehhhhh…
Si
gadis kecil kemudian berlari, berlari mengikuti arah sosok yang baru saja
datang. Ia terus mengikuti kemanapun Sang sosok melangkah, hingga terhenti
didepan sebuah ruangan.
+
Gudang?
- Imajinasimu begitu
buruk! Kali ini, cukup respon dengan anggukanmu saja.
Ia terhenti didepan ruang kamar mandi, lalu si
sosok berlalu begitu saja memasuki kamar mandi. 15 menit, 30 menit, 40 menit
telah berlalu. Pintu belum pun terbuka hingga membuat si gadis kecil letih
menunggu. Ia kemudian memutar badan, hendak melangkah (kembali) menuju kamar.
Tak jauh ia melangkah, engsel pintu terdengar (yang) menandakan pintu telah dibuka.
Terlihat wajah segar, rambut basah dan wangi, serta senyuman yang selalu ia
nantikan. Kemudian Gadis kecil berhamburan memeluk sang sosok.
“Kakak
dari mana saja, aku takut…”
“Kakak
disini, sudah jangan takut lagi. Apa dino (saurus) itu datang lagi? Kakak sudah
memberimu sapu terbang bukan? Tak kau gunakan?
“Bukan,
dino tak berani menggangguku lagi…”
“Lalu?
Apa si K(uc)ing nakal lagi?
“King
tak nakal, ia terus menemaniku
“Baiklah,
lalu apa yang membuatmu takut gadis manisku?
“Hujan”
“Hei,
sayang. Hujan adalah Rahmat. kau selalu mengucapkan bahwa kau takut Hujan. Kau
tahu kakak sangat menyukai hujan?
“Iya
tahu”
“Hm,
bukankah kau selalu menyukai apa yang kakak sukai? Hayoo..”
“Iya,
kakak sangat menyukai hujan. Itu yang membuatku takut….”
“Bagaimana
bisa, mari kakak rapihkan rambutmu. Kau sangat berantakan”
“Iya,
kakak begitu menyukai hujan. Selalu mengejarnya, selalu menantinya, selalu
bermain dengannya. Aku takut, takut kakak lebih mencintai hujan,, aku takut
kakak lebih menyayangi hujan, takut jika kakak melupakanku dan pergi bersama
HUJAN. Kakak selalu berhamburan mengejarnya, dan aku kakak tinggal”. Ia sesenggukan tak bisa menahan tangis, kau percaya
gadis dengan usia sangat belia
menganggap Sang hujan sebagai musuh. Namun, ia begitu takut karena Sang
kakak selalu mengejarnya.
“Benarkah? Hujan tak
akan merebut kakak darimu sayang. Kau percaya kakak bukan? Esok jika kau bertumbuh,
kau akan tahu. Mengapa kakak selalu berlari mengejarnya, selalu membasuh diri
pada-Nya, selalu menantinya. Ah.. sudah larut, tak baik gadis manis masih
terjaga, mari istirahat sebelum penyihir datang. Bukankah penyihir lebih
menakutkan dari pada Hujan? Sembari ia merapihkan rambut yang berantakan
dan memeluk erat adiknya dengan mata sembab.
“Tidak,
Hujan lebih menakutkan!
“Hahaha,,
kau ini. Selalu menggemaskan seperti itu. Tak ada yang bisa menggantikanmu,
meski Hujan sekalipun”. Mereka terlelap
seiring malam yang kian pekat.
+
Baiklah, lalu hal
(yang) membuatmu terpukul?
-
Gadis kecil itu
+ Ia kenapa (lagi)
?
-
Ia mengetahui,
alasan mengapa kakaknya selalu menanti hujan, selalu merindukan hujan, selalu
berlari mengejarnya, selalu membasuh diri jika ia datang
+
Hei, kau tak
cerita jika kakaknya menceritakan alasannya
- Memang, kakaknya tak pernah menceritakan
alasan itu. Ia mengetahui sendiri, seiring usianya (yang) bertumbuh
+ Lalu, alasan
Sang kakak?
-
Maaf, aku harus
bergegas. Tugas ku kian menumpuk, terlalu asyik denganmu.
Kemudian ia menepi dari hadapan cermin yang ia pandangi
2 jam lamanya ….
0 komentar:
Posting Komentar