Pagi itu, terlihat seorang anak kecil yang tengah
berdiam diri mematung menghadap kelangit timur. Entah apa yang ia lihat, apakah
ia tengah melihat keindahan merahnya mega? Sepertinya, bukan. Mungkin ia tengah
menyaksikan burung yang tengah bernyanyi menyambut indahnya panorama pagi,
sepertinya juga bukan. Tak lama kemudian, ia mulai tersenyum, mula-mula ia
tersenyum tipis. Setelah 2 menit kemudian, senyumannya kini menjadi tawa. Ia
tertawa ringan dan terlihat begitu bahagia.
Kini dengan tawa ia tak beranjak dari posisinya, ia
masih terlihat berdiri menghadap kearah langit timur, apa yang tengah ia lihat?
Apa yang membuatnya tertawa?
Jum’at 4
February awal tahun 2000. Pagi itu udara terasa lebih segar dari pagi sebelumnya,
apa itu hanya perasaannya saja. Gadis kecil yang berusia 6 tahun tengah berdiri
1 jam lamanya menghadap langit timur, ia terlihat tengah menantikan sesuatu.
Langit terlihat begitu petang, 25 menit kemudian langit berubah warna memerah
memunculkan mega dari ufuk sana, ia tersenyum. 5 menit kemudian Sang mentari
mulai menampakan diri dari peraduannya, ia kemudian kembali tersenyum. 2 menit
kemudian mentari telah muncul secara sempurna, begitu hangat. Senyumannya kini
menjadi tawa ringan begitu bahagia. Ia masih menghadap ke langit timur, ia tak
melepaskan pandangannya sedetikpun terhadap Sang Mentari.
Wajahnya kini
terkena pancaran sinar mentari pagi, begitu hangat. Ia kemudian memejamkan
kedua matanya. Merasakan sesuatu yang ia nantikan kini datang menyapanya. Ia
kemudian kembali membuka mata. “Kau akhirnya datang juga, ku tau kau pasti
datang”. Kembali ia tersenyum dan memandangi Sang Mentari. 1 jam lamanya ia
masih bertahan pada posisinya, kini mentari tak lagi hangat namun terasa mulai
menyengat. Ia masih terus memandanginya, wajahnya kini mulai memerah, kedua matanya
kini mulai layu dan menyipit.
“Lili, apa yang
tengah kau lakukan, kau belum bergegas membersihkan diri ?”
Terlihat gadis berusia
9 tahun kini menyapanya, namun gadis yang bernama Lili tak menoleh dan masih
mematung memandang Sang Mentari. Dengan panik ia menghampiri si gadis kecil.
“Apa yang kamu
lakukan, tolong hentikan. Selalu bertingkah konyol setiap pagi dengan
memandangi mentari, apa yang ingin kau buktikan sayang?”
“Tak ada, aku
hanya tengah menyapanya dan aku memang suka memandanginya. Semakin lama ku
pandangi ia semakin indah. Ia seperti bola api dalam kartun yang sering kita
lihat kak, Lihatlah! Kakak harus memandanginya juga, ia begitu indah bukan. Ia
tak sebesar Naga jahat musuh para Ranger. Tetapi ia begitu kecil seperti bola
api yang melingkar. Terkadang, ia juga seperti cincin kecil yang berwarna
keemasan seperti yang dikenakan Mama dan Ayah dijari manis mereka. Bukankah
begitu?” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun.
“Kau benar, tapi
terlalu lama memandanginya tak baik bagi indra mu sayang. Ada energi berbahaya
yang ia bawa, kau lihat ketika Sang Naga memuntahkan bola api kearah Ranger
biru kesayanganmu? Bukankah itu sangat berbahaya? Memandanginya sesekali boleh
saja, tapi tidak untuk berjam-jam lamanya. Dan sekarang waktunya mandi dan
bergegas ke sekolah, bukankah adik kakak adalah adik yang patuh ?”
“ Ah, ia tak
sama seperti Naga itu, kami telah lama bersahabat. Ini cara kami saling
menyapa, oke aku harus bergegas ke sekolah, kan ku ceritakan pada teman-temanku bahwa hari
ini aku telah menyapa Sahabat alam ku” ia kemudian mengalihkan pandangan dari
mentari kemudian memejamkan kedua mata. Sambil tersenyum ia kemudian berbisik
ditelinga Sang Kakak
“ Kakak tau, ia
menitip salam Rindu untukmu. Kakak begitu lama tak menyapanya. Dan kakak tau
apa yang sedang aku lakukan. Aku sedang menetralisir padanganku karena begitu
lama beradu pandang dengannya”. Kemudian ia membuka mata dan melirik sang Kakak
yang tengah beralih memandang Sang Mentari dengan wajah sendu.
***
Sahabat alam dan momen tersebut
begitu indah untuk dikenang…
0 komentar:
Posting Komentar